Maaf, Ibu!

Monday, 15 August 2016

Maaf, Ibu!





 Iseng-iseng bikin tulisan. Rencana mau dipake lomba, tapi nggak jadi. Hehe..
Selamat membaca!


“Sayang, Ibu mohon sekali lagi kamu dengerin Ibu ya. Ibu juga pengen buat kamu bahagia, tapi sekarang posisi Ibu masih sulit nak. Ibu mohon.. ”
“Bu, aku udah bener-bener nggak kuat disini bu. Sekali aja bu, “ pintaku sambil menyeka air mata yang menetes di sudut mataku.
“ ’Aini, kamu tahukan sebentar lagi adik kamu masuk SMP? Dia butuh biaya lebih. Apalagi sekolahnya jauh, dia juga butuh motor nak. ”
“Iya, dia terus bu! Dari dulu Cuma dia yang Ibu sama Ayah sayang. Apapun keinginannya selalu kalian turuti. Bahkan ketika dulu aku juga bener-bener butuh motor buat kuliah di Jogja, aku harus nunggu berapa lama bu? Berbulan-bulan aku sabar bu, nyegat temen yang mau ngasih tumpangan dari pagi, lari-larian biar nggak ketinggalan mata kuliah pagi, biar nggak dihukum. Aku tau keluarga kita emang bukan keluarga yang kaya, dia anak kandung Ayah, apapun yang diinginkannya pasti akan langsung dituruti. Tapi untuk sekali ini bu, aku mohon, aku ingin pindah dari sini. “ ucapku dengan nada yang terlalu membentak Ibu. Terbersit rasa bersalah dalam benakku, namun ego-ku mengalahkan semuanya. Tangisku semakin terisak, airmata semakin membanjiri pipiku. Tak ku tahan, agar Ibu tau bahwa aku bersungguh-sungguh dengan keinginan ini.
“Maaf nak, Ibu nggak bisa..” ujar Ibuku dengan suaranya yang lemah.
Langsung kumatikan sambungan telfon dengan Ibuku. Kugenggam erat-erat handphone butut milikku. Aku terisak tertahan. Tak ingin menangis tapi airmataku tak kunjung berhenti keluar. Aku pasrah. Apakah aku terlalu egois? Entahlah. Aku selalu merasa di nomor duakan oleh orang tuaku sekarang. Memang aku bukanlah anak kandung dari Ayahku yang sekarang. Ibu menikah dengan Ayah ketika aku duduk dibangku kelas 8 Madrasah Tsanawiyah. Sedangkan Ayah kandungku meninggal ketika aku duduk  dibangku awal kelas 7 Madrasah Tsanawiyah.
Mungkin aku keterlaluan, tapi apakah mereka merasakan apa yang aku rasakan? Aku meragukannya. Bukan aku tak percaya pada kasih sayang mereka padaku. Namun aku benar-benar kalut sekarang, pikiranku tak jelas kemana. Bahkan hafalan-hafalan surat Al-Qur’an yang dulu kuperjuangkan sungguh-sungguh, kujaga benar-benar, kini perlahan memudar. Entah aku masih ingat atau tidak. Aku terlalu tertekan karena masalah ini, terlalu sulit untuk muroja’ah hafalanku.
Aku selalu saja merasa aku yang harus mengalah. Selalu aku yang harus mengantri untuk mendapatkan kasih sayang penuh mereka. Dengan beribu alasan mereka ungkapkan untuk membuatku diam dan dipaksa untuk terus mengalah, mengalah, dan mengalah. Aku benar-benar lelah Allah!
Aku ingin pindah dari Pondok Pesantren yang sekarang ini aku tempati. Sebenarnya, Pesantren ini termasuk Pesantren Al Qur’an ternama di Indonesia. Bahkan termasuk yang tertua. Aku suka Pesantren ini, tapi lingkunganlah yang memaksaku untuk pergi. Teman-teman sekamarku yang rata-rata adalah mahasiswa pascasarjana membuatku tertekan dengan kata-kata tajam mereka dan sikap mereka yang terkesan tak suka padaku. Memang benar bagaimana dawuh salah seorang Ustadzahku, bahwa diantara penentu betah atau tidaknya seseorang dipesantren adalah lingkungan, teman kamar, sistem pengajaran di Pesantren, dan peraturan-peraturan di Pesantren.
Kuhapus sisa airmata yang berada dipipiku, aku mulai beranjak dari dudukku. Dengan sakit hati yang masih sama kurasakan, aku berusaha tersenyum didepan teman-temanku. Senyum palsu sebenarnya. Aku tak ingin orang diluar teman sekamarku ikut menjauhiku karena aku berubah, jarang tersenyum seperti dulu, ketika awal aku disini.
Kulangkahkan kaki ketempat wudhu, kubasuh muka dan mengambil air wudhu dengan harapan lebih menenangkanku. Usai mengambil wudhu, aku berjalan menuju mushola. Sekedar duduk untuk lebih menenangkan hati. Mengambil Al-Qur’an dan mencoba mengulang hafalanku. Namun aku gagal, fokusku tak bisa tetap di satu tempat. Kuletakkan Al-Qur’an ku, kutelungkupkan wajahku diatas lipatan tangan yang kubuat diatas bangku yang tersedia disudut-sudut mushola. Kucoba memejamkan mata sejenak.
Tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku, aku menoleh menatapnya sayu namun tetap berusaha tersenyum. “Kamu kenapa loh dek?” tanyanya sambil duduk disampingku.
“Nggak apa-apa Mbak Nur, lagi ngantuk aja. Hehe.. “
“Bohongnya keliatan tuh. Cerita lah sama Mbak, siapa tau Mbak bisa bantu. Mbak tahu kamu lagi ada masalah.” Mbak Nur menatapku penuh perhatian.
“Mbak, aku ingin boyong dari sini. ‘Aini nggak kuat disini Mbak.” Ujarku pada Mbak Nur dengan mata berkaca, menahan tangis.
“Loh, kenapa? Bukannya kamu senang disini? Mbak bakalan kehilangan kamu dong, nggak ada senyum ceria kamu tiap kali papasan sama Mbak. Kamu mau Mbak boyong juga gara-gara kamu boyong?” jawab Mbak Nur dengan wajah yang pura-pura cemberut untuk sekedar menghiburku. Namun tetap saja, aku tak bisa tersenyum. Terlalu berat.
“Aku nggak suka sama anak-anak kamar Mbak, mereka nggak nganggep aku, selalu jadiin aku sasaran jadi bahan guyonan mereka, bahkan aku jarang dianggap sama mereka. Aku juga punya hati Mbak, punya hak juga disini.”
“Kamu udah cerita sama orang tua kamu?”
Mereka juga sama aja Mbak. Bilang sayang tapi kenyataannya? Kasih sayang mereka buat aku cuma sepersekian dari sayang mereka buat saudara tiriku yang lain. Aku pengen nekat Mbak, tapi aku bingung gimana, aku udah terlalu lama mendam sakit ini sendiri Mbak, “ akhirnya airmataku pun menetes lagi, walau tak sederas tadi. “Ibu bilang iya, tapi nyuruh aku nunggu entah sampai kapan. Alasannya klasik, belum ada biaya buat daftar ulang di Pesantren yang baru. Tapi mereka malah mau beliin adik aku motor mbak. Aku selalu di nomor duain sama mereka Mbak, sakit banget rasanya Mbak.” Aduku lagi pada Mbak Nur.
“Ya beginilah dek di Pesantren, nggak selamanya enak. Apalagi kita udah mahasiswa, jangan disamain sama Pesantren waktu SMA. Jauh berbeda. Kalau dulu waktu SMA masih sejalan, sepemikiran,, emosi pun tak beda jauh, jadi kalian masih bisa mengontrolnya. Kalau sekarang? Pemikiran kita udah semakin dewasa, apalagi tingkat ke kritisan seseorang terhadap suatu masalah, lebih beragam lagi dek. Mbak yakin kamu juga udah dewasa, tau mana yang baik atau buruk buat kamu. Mbak sekarang cuma bisa sedikit lakuin apa yang bisa meringankan beban kamu. Itupun kalo orang tua kamu benar-benar mengizinkan.”
Senyum tipis tertoreh diwajahku, aku menatap Mbak Nur setengah tak percaya, lalu memeluknya erat. “Makasih Mbak, makasih banyak.” Ujarku sesenggukan.
“Mbak nggak bisa liat kamu sedih, Mbak nggak kuat kalau liat senyum ceria kamu hilang dari wajah kamu. Mbak udah anggap kamu seperti adik kandung Mbak sendiri.” Balas Mbak Nur sambil memelukku juga. Mbak Nur memang sosok kakak perempuan yang sangat aku sayangi. Mungkin karena berlatar belakang dari tempat kelahiran yang sama merupakan salahsatu faktor yang membuat kami mudah dekat. Mbak Nur selalu mendengarkan keluhanku, mengajariku cara membaca kitab kuning secara privat, dan segala bentuk perhatian lainnya dari Mbak Nur.
Keesokan harinya, Mbak Nur membantuku untuk mengurus segala hal yang kuperlukan sebagai syarat sebelum boyong dari Pesantrenku sekarang sekaligus syarat di Pesantren yang baru. Seminggu kemudian, aku berhasil boyong dari Pesantrenku yang lama. Sangat panjang memang prosesnya, tapi tak apa, yang penting aku sekarang sudah pindah ketempat yang baru. Aku juga selalu mengirim pesan singkat pada Ibuku untuk memberitahukan apa saja proses boyong  yang sedang ku urus sekarang ini. Namun, tak ada balasan darinya. Aku berusaha tak terlalu memikirkannya, dan melanjutkan proses boyong.
Dengan berbekal uang 250 ribu rupiah sebagai pembayaran awal, aku diterima di Pesantrenku yang baru. Aku mulai nyaman menikmati hari-hariku disini. Pesantrenku yang baru memang khusus Pesantren Tahfidzul Qur’an, ngaos  kitab pun hanya ada kitab yang berhubungan dengan Al-Qur’an. Tidak sama ditempat yang dulu, karena Pesantrenku yang dulu lebih fokus kepada pengajaran kitabnya.
Disini aku bisa fokus menghafal, muroja’ah, sima’an, hingga setoran tiap pagi yang membuatku semakin bersemangat melanjutkan hafalanku yang sempat tertunda karena tekanan yang kurasakan dulu yang membuatku berhenti menghafal.
“ ‘Ain, gimana? Betah kan disini?” tanya Mbak Rita, salah satu teman sekamarku yang baru. Sosok baik dan lembut yang membuatku dengan cepat bisa beradaptasi dengannya.
InsyaAllah betah Mbak, berkat Mbak Rita yang selalu nemenin aku juga sih. Hehe..” candaku pada Mbak Rita.
“Ah, kamu ini bisa-bisa aja. Nanti kalau Mbak terbang gara-gara kebanyakan kamu puji terus gentengnya rusak gimana? Nggak mau ya Mbak kalau disuruh ganti rugi sama Bu Nyai. “
“Ya nggak apa-apa lah Mbak, sedekah dikit buat Ibu Nyai, kan jarang-jarang lewat materi langsung. Biasanya kan cuma bantuin aja kan?” balasku sambil ketawa dan melirik Mbak Rita diakhir kalimatku.
Belum sampai Mbak Rita menjawab, kurasakan handphone-ku bergetar tanda ada panggilan masuk. Kulihat ID pemanggil yang tertera dilayar handphone-ku, ternyata Budeku yang menelfon. Langsung saja kuangkat telfon dari Bude.
Assalamu’alaikum!” ucapku langsung setelah menekan tombol hijau di ­handphone-ku.
Wa’alaikumsalam.” Jawab Budeku.
“ Ada apa Bude?”
“Nak, bisa kamu besok pulang? Ada sesuatu yang penting yang mau Bude ceritain ke kamu. Tapi nggak bisa lewat telfon.” Jawab Budeku to the point.
“Kok mendadak Bude? InsyaAllah Bude, nanti ‘Aini coba izin ke Bu Nyai.”
“Kalau kamu diizinkan pulang, kabari Bude lagi ya. Biar dijemput masmu di terminal. Assalamu’alaikum.
Nggih  Bude, wa’alaikumsalam.” Penasaran sebenarnya apa yang ingin Bude ceritakan padaku. Namun kupendam rasa penasaranku, toh besok juga terjawab.
Kututup telfon dari Bude, aku pamit kepada Mbak Rita yang tadi berada disebelahku untuk menemui Bu Nyai meminta izin. Mbak Rita mengangguk dan aku langsung ke Ndalem untuk menemui Bu Nyai.
Ketika sudah didepan Bu Nyai, kusimpuhkan kaki berlutut didepan beliau. Bukan menyembah, hanya sebagai bentuk menghormati beliau. Lalu kukatakan saja langsung apa tujuanku sowan, sedikit berbincang karena beliau bertanya mengenai alasanku untuk pulang. Setelah beberapa lama beliau mengizinkanku untuk pulang esok hari. Tentu saja setelah melalui beberapa proses perizinan pulang.
Pagi-pagi sekali aku sudah siap dengan tas ranselku dipunggung. Dengan diantarkan temanku ke terminal, aku pulang mengenakan bus yang tarifnya tak terlalu mahal. Delapan jam perjalanan kutempuh hingga aku sampai di terminal kota. Ku edarkan pandanganku mencari mas-ku yang katanya sudah menungguku di terminal. Tak lama, aku melihatnya berdiri melambaikan tangannya padaku. Aku berlari menghampirinya dan mencium tangannya.
“Ada apa to mas kok Bude nyuruh pulang mendadak?” tanyaku kepada mas-ku setelah aku duduk di jok belakang motornya.
“Nggak ada apa-apa kok.” Jawabnya singkat. Lalu menyalakan mesin motornya dan berlalu, bergabung dengan keramaian jalan kota.
Awalnya kunikmati saja pemandangan di sepanjang jalan yang kukira awalnya menuju rumah. Tapi ternyata arah yang dituju mas-ku berbeda dengan arah pulang. Tak terlalu kufikirkan juga. Mungkin masih ada urusan lain, begitu fikirku.
Selang 30 menit, ternyata kami sampai di Rumah Sakit. Aku mengikuti mas-ku berjalan. Menyusuri koridor Rumah Sakit, kemudian kami sampai disebuah kamar. Aku lihat semua keluargaku berkumpul disana. Wajah sendu terlihat pada masing-masing wajah mereka. Aku yang belum tahu apa-apa, tiba-tiba dibawa keluar Budeku. Beliau menjelaskan keadaan yang terjadi sebenarnya.
“Begitulah Nduk ceritanya, Ibumu menyembunyikan penyakit kankernya dari kita. Kamu yang sabar ya. Ibumu sebenarnya sangat sayang sama kamu, tapi dia juga perlu biaya untuk pengobatannya. Tapi dia tak berani menceritakannya pada siapa-siapa. Takut untuk membuat semua orang khawatir.”
Tangisku seketika pecah, hingga tak kuat rasanya menanggung berat badanku sendiri. Dan akhirnya aku pingsan disamping Bude. Ketika terbangun, aku sadar aku sudah dirumah. Kulihat sekelilingku, ternyata ada Bude disampingku. “Ayo temui Ibumu sebagai perpisahan nak.”
Bude menuntunku menuju tempat Ibu dibaringkan. Kutatap beliau yang sudah sangat pucat pasi. Benar-benar tak bernyawa. Tangisku pecah, berusaha menggapainya. Kupeluk tubuh beliau yang mulai kaku. Menggumamkan kata maaf yang sekarang ini sepertinya percuma. Ibu tak akan mendengarku. Beliau pergi untuk selamanya, meninggalkan ku sendiri dengan semua rasa bersalah yang tertumpuk dibenakku. Sekarang aku benar-benar menyesal atas sikapku yang kurang ajar padanya selama ini. Menganggapnya tak menyayangiku, padahal dia sangat menyayangiku. Semua alasan yang diungkapkannya sebenarnya hanyalah sebagai tirai penutup rahasianya agar bisa bersamaku lebih lama. Menemaniku hingga aku mampu hidup lebih mandiri kelak. Maaf pun sekarang percuma. Takkan bisa memperbaiki semuanya. Maafkan aku Ibu, maafkan anakmu yang selalu mengabaikanmu dan menganggapmu tak menyayangiku. Aku menyesali semua itu.

0 komentar :

Post a Comment